Chapter 93
Chapter 93
Bab 93
Beatrice sadar betapa seriusnya masalah ini. Ia bergegas menjelaskan, “Presdir Daniel, putriku hanya bersikap impulsif. Biasanya ia tidak berani berbuat onar di tempat Anda. Kami meminta maaf dan akan memberikan kompensasi. Terserah Anda ingin kami bagaimana menggantinya.”
“Benar, Presdir Daniel. Anda orang bermurah hati, maafkan lah ia kali ini.”
Frank memahami situasi, bergegas memohon pengampunan.
Daniel mengabaikan mereka, malah melihat Garcia, “Bagaimana menurutmu?”
“Sejak kecil hingga sekarang, aku tidak pernah dipermalukan seperti ini.” Garcia tidak bisa memaafkannya, tapi dia harus bersabar. “Tetapi ini adalah acara Presdir Daniel. Aku tidak akan bertindak sembarangan….”
Ia berhenti lalu bertanya dengan hormat, “Presdir Daniel, apakah aku boleh membawanya ke kantor polisi? Aku ingin pengacara menuntutnya.”
“Jangan, nona Garcia…” Beatrice memohon, “Terserah Anda ingin kami bagaimana meminta maaf, tetapi jangan membawa kami ke kantor polisi. Semua orang di sini adalah orang besar, apalagi ini acaranya Presdir Daniel. Tidak baik jika tersebar keluar.”
Beatrice tahu betul, Alice adalah menantu perempuan keluarga Stanley, juga mewakili keluarga besar Stanley. Hari ini, entah seberapa memalukan putrinya di
tempat ini, hanya orang dalam saja yang tahu.
Bagaimana pun ini adalah acara Daniel. Semua masalah akan tertutup rapat-rapat, tidak ada yang berani bergosip di belakang.
Tetapi, begitu masalah ini dilaporkan ke kantor polisi. Garcia akan mencari media untuk menambah- nambahkan masalah. Dengan begitu, sikap buruk Alice malam ini akan menjadi topik terpanas dan menjadi bahan tertawaan satu negara.
Pada akhirnya nanti, tidak hanya Stanley, kurasa senior dalam keluarga Stanley pun tidak akan mengampuni Alice! Copyright Nôv/el/Dra/ma.Org.
Sekalipun Alice bodoh, ia mengerti dengan logika ini.
Jadi ia tidak berani berbuat apa-apa, menunggu orang tuanya menyelesaikan masalah.
Sejak kecil hingga besar selalu seperti ini….
“Kamu malah mengingatkanku.” Garcia mengangkat alis, “Acara lelang bahkan belum mencapai pertengahan acara, bagaimana bisa mengganggu kesenangan semua orang? Tetapi, jika tidak dilaporkan ke polisi, bagaimana aku menghukum kalian?”
“Kami bisa minta maaf…” jawab Beatrice cepat.
“Sungguh konyol, memangnya aku butuh permintaan maaf dari kalian?” Garcia bergumam. “Setelah menamparku, kau hanya meminta maaf saja? Aku tampar kamu 10 kali, lalu aku minta maaf kepada kalian. Bagaimana?”
“Aku….”
“Ide ini tidak buruk.” Daniel tiba-tiba bersuara, “Gunakan metode yang sama sepertinya untuk memberinya pelajaran!”
Garcia mendapat dukungan Daniel, dengan cepat ia berkata, “Boleh saja tidak lapor polisi. Tapi, biarkan aku menamparmu balik. Kamu menamparku 1 kali, aku tampar kamu 10 kali, ini sangat adil!”
“Garcia, kamu jangan keterlaluan…”
Alice belum selesai bicara, wajahnya langsung ditampar Garcia.
Wajah Alice memerah setelah ditampar, tubuhnya gemetar penuh amarah hebat. Ia memelototi Garcia dengan berapi-api.
Kali ini, Beatrice tidak berani bicara. Sekalipun hatinya sakit, ia hanya bisa menerimanya…
“Ini satu tamparan.” Garcia baru mau lanjut menampar.
“Kenapa menggunakan tangan sendiri? Memangnya tidak sakit?” Daniel tiba-tiba menyahut.
“Benar juga, terima kasih Presdir Daniel.” Garcia tersenyum sinis, “Tante Beatrice, mohon bantuanmu!”
“Kamu…. ingin aku menamparnya?” Beatrice menatap Garcia dengan tatapan tak percaya.
“Kenapa? Tidak tega?” Garcia mengangkat alisnya, “Kalau begitu biar pengawalku saja, tamparan mereka mungkin tidak ringan….”
“Pengawal!”
“Tunggu…. “ Beatrice lekas menghentikan, “Oke, aku saja, aku saja!”
Setelah berbicara, ia mengangkat tangannya yang gemetar, menampar Alice dengan ringan….
“Satu tamparan ini tidak terhitung.” ujar Garcia dengan marah. “Harus terdengar suara tamparan, harus ada jejak tamparan di wajah. Kalau tidak, tidak dihitung.”
“Kamu….Beatrice geram, tapi ia tak berdaya. Hanya bisa menampar Alice dengan sadis.
“Ma… Alice menangis.
“Untuk apa menangis, mamamu belum mati!” Garcia menyengir, “Bibi Beatrice, bagus sekali, silakan dilanjutkan!”
Beatrice memejamkan matanya, lanjut menamparnya dengan sadis.
“Dua!”
“Tiga!”
“Empat!”
Garcia berhitung
Frank sakit hati melihatnya, namun ia tidak berani bersuara. Hanya bisa menundukkan kepala dengan lesu.